Walisantri Pasrah Penuh Kebijakan Pesantren di Masa Pandemi

SYAMSUL A. HASAN Rabu, 28 Oktober 2020 09:06 WIB
2336x ditampilkan Berita

Keharmonisan antara santri, walisantri, dan pesantren dalam proses pembelajaran sangat diperlukan untuk melahirkan generasi khaira ummah. Karena itu, ketiga pihak harus bersinergi penuh lahir-batin tanpa ragu-ragu. Kalau terdapat kebijakan pesantren atau sesuatu yang mengganjal di hati atau pikiran sebaiknya langsung melakukan tabayyun tanpa membeberkan di media sosial yang akan merusak keharmonisan tersebut. Walisantri sangat mengapresiasi dan mendukung penuh beberapa kebijakan pesantren di masa pandemi dan meminta pesantren meneruskan kebijakan tersebut.

Demikian salah satu materi acara Silaturrahim dan Dialog antara Pengasuh Pesantren dan Walisantri tadi malam. Acara tahunan tersebut diikuti oleh ratusan walisantri yang bertebaran di pelosok Nusantara. Dialog tersebut dilakukan secara virtual via zoom yang difasilitasi pengurus Iksass di masing-masing daerah.

Menurut Kiai Azaim, hubungan “segitiga emas” antara santri, walisantri, dan pesantren harus benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Para walisantri hendaknya pasrah sepenuhnya atau “pasrah bungkol” (dalam istilah Madura) atau “pasrah bongko’an (dalam bahasa Jawa) kepada pihak guru atau pesantren. Karena itu, mereka harus husnudzon kepada pesantren.

Bila terdapat sesuatu yang mengganjal di hati atau pikiran, hendaknya langsung disampaikan ke pesantren; melalui nomor kontak pengurus pesantren. Bisa jadi sesuatu tersebut masih simpang-siur kebenarannya bahkan tidak benar sama-sekali. Karena itu, jangan gampang membeberkan di media sosial yang akan memperkeruh keadaan. Apalagi banyak pihak yang tidak tahu persoalan, ikut memperunyam keadaan yang akan menambah benih-benih perpecahan. Wali santri hendaknya berhusnudzon kepada pesantren. Pesantren menyadari segala kekurangan dan keterbatasannya, serta pesantren terus berikhtiar berbenah diri. “Saya melihat orang-orang yang berprestasi, salah satu kuncinya orang tuanya memiliki hubungan yang baik dengan pesantren,” imbuh Kiai Azaim.

Salah satu yang juga diperhatikan dalam hubungan “segitiga emas”, walisantri dalam mengirim anaknya di pesantren hendaknya berasal dari rezeki yang halal. Ketika menelepon anaknya, yang ditanyakan jangan sekadar soal materi kebutuhan sang anak. Namun juga perkembangan pendidikan dan akhlak mereka. Tidak semua keinganan anak harus dituruti.

Menurut Kiai Azaim, tirakat walisantri era sekarang adalah tidak melanggar aturan pesantren. Misalnya, pesantren menerapkan aturan di masa pandemi walisantri dilarang berkunjung untuk menemui sang anak. “Rasa rindu kepada putra sampean itu sebagai wasilah; sebagai tirakat sampean. Niatkan menahan rindu bertemu anak sebagai tirakat; agar sang anak mendapat ilmu barokah dan bermanfaat,” dawuh Kiai Azaim.

Beberapa kebijakan pesantren di masa pandemi, mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari walisantri. Misalnya, program Pulang Berjamaah (Puja), Berangkat kembali ke pesantren Berjamaah, dan kiriman bersama yang dikoordinasi Iksass. Begitu pula kebijakan pembatasan santri putra keluar kompleks pesantren. Para walisantri mengharapkan beberapa program tersebut terus dilestarikan.

Pada dialog tersebut seorang walisantri mengutarakan kerinduannya kepada Kiai Azaim. Ia merindukan kehadiran Kiai Azaim kembali berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

Kiai Azaim sangat menghormati kebijakan pemerintah di masa pandemi. Kiai Azaim menghargai mereka yang tengah berjuang keras untuk memulihkan keadaan. Beliau tidak ingin menjadi teladan buruk, sebagai tokoh yang melanggar aturan protocol kesehatan. “Saya tidak ingin menjadi contoh buruk. Mari kita bersama-sama berikhtiar dan berdoa agar wabah ini cepat berakhir,” imbuhnya.