Perlu “Indonesiasasi” Bukan “Islamisasi” Undang-Undang

SYAMSUL A. HASAN Sabtu, 2 Desember 2017 08:11 WIB
1714x ditampilkan Headline Berita

Kehadiran suatu negara merupakan keniscayaan baik menurut akal sehat maupun as-sunnah. Negara dan agama merupakan hubungan yang saling membutuhkan. Agama memerlukan kehadiran negara untuk menjadikan syarat dan instrumen bagi terlaksananya aturan-aturan syariat. Tanpa kehadiran negara, ajaran agama tidak akan berdiri tegak. Begitu pula, negara memerlukan agama agar kehidupan masyarakat menjadi kondusif.

 

Namun dalam bernegara, kita hendaknya bersikap bijak dalam melakukan “Indonesiasasi” undang-undang bukan “Islamisasi” undang-undang. Sehingga undang-undang tersebut nantinya berakar kuat dan diterima semua kalangan masyarakat.

 

Demikian salah satu pernyataan penting dalam bedah buku “Fiqh Tata Negara” karya KH. Afifuddin Muhajir, Kamis kemarin di Musholla Ibrahimy Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Bedah buku tersebut dihadiri oleh Kiai Afif (penulis buku), Prof. Dr. Abu Yasid, MA, LLM (pembanding), serta ratusan santri dan alumni Sukorejo. Bedah buku diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi’iyah (Iksass).

 

Menurut Kiai Afif, “Indonesiasasi” undang-undang merupakan upaya menciptakan undang-undang yang bersumber kepada kearifan lokal; yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan kondisi masyarakat Indonesia. Kebanyakan budaya masyarakat Indonesia sesuai dengan fiqh madzhab Syafi’i dan ajaran ahlussunnah wal jamaah. “Kita harus bijak dalam membuat undang-undang. Kita lebih mementingkan substansi daripada bungkus. Sehingga suasana tetap harmonis dan kondusif,” papar Kiai Afif.

 

Menurut Kiai Afif, Syariat Islam secara garis besar berisi hukum dan hukuman. Dalam Pandangan Kiai Afif, hukuman yang tampak berat dalam Islam sulit untuk diterapkan karena membutuhkan bukti-bukti yang kuat dan sulit. Karena itu, ada pendapat bahwa ketentuan-ketentuan hukuman dalam Islam itu bersifat teoretis (nazhariyyah) ketimbang praktis (amaliyah). Misalnya, pada kasus perzinahan yang harus dibuktikan dengan kesaksian 4 orang yang memiliki integritas dan mereka harus melihat langsung peristiwa perzinahan tersebut.

 

Sementara itu, Prof. Abu Yasid, yang menjadi pembanding buku tersebut sangat mengapresiasi kehadiran buku Fiqh Tata Negara yang sangat menginspirasi. Buku tersebut banyak menggunakan konsep-konsep dalam ushul fiqh. Menurut Prof Abu Yasid, perspektif ushul fiqh kaya akan diktum-diktum wahyu dan nalar logika. “Kiai Afif memang pakar dalam ushul fiqh dan inilah salah satu keunikan buku ini,” papar Rektor IAII tersebut.