BELAJAR TASAWUF KEPADA KH. ACH. HARIRI ABDUL ADHIM (2)
ADMINPESANTREN2999x ditampilkan Opini
#Jiwa Sufi dan Tamu Ajaib
Oleh: Khalil Abdul Jalil
Pasca wafatnya KH Hariri Abd Adhim, santri dan alumni Ma’had Aly tidak kekurangan cerita mengenang beliau. Dari cerita-cerita tersebut, tidak ada yang meragukan kesufian beliau, lebih-lebih cerita demi cerita semakin menampakkan bahwa KH Hariri telah melampaui sifat-sifat kemanusiaan, padahal umumnya manusia sedang berusaha menjadi manusia, tetapi beliau telah melampaui itu semua.
Salah satu cerita yang terekam di antara percakapan itu adalah pada saat KH Hariri kedatangan seorang tamu ajaib-biasa disebut helap karena perilakunya di luar batas kewajaran. Bagaimana tidak disebut helap, setiap tamu ini berkunjung, dia tinggal di kediaman beliau paling tidak satu bulan bahkan bisa dua bulan. Tidak hanya itu, tamu ini juga tidak segan-segan minta rokok, uang, memerintah kyai, dll. Tamu ini juga setiap diajak keluar Ma’had Aly dengan mobil selalu minta duduk di kursi depan.
Lalu bagaimana reaksi KH Hariri? Umumnya tuan rumah, apabila kedatangan tamu berlagak aneh atau kurang ajar, maka tuan rumah tersebut mengernyitkan dahi, terkejut, memarahi bahkan mengusirnya, tetapi KH Hariri berbeda. Beliau tidak pernah menampakkan sikap terkejut, kesal apalagi marah. Beliau justru memenuhi semua keinginan tamu yang satu ini. Itulah kenapa kami, alumni, menganggap bahwa beliau sudah melampaui sifat kemanusiaan.
Melihat tingkah tamu tersebut, banyak santri yang geram. Salah satu santri yang tidak terima kyainya diperlakukan seperti pembantu akhirnya nekat menyuguhkan kopi yang sudah dicampur dengan garam dan nasi yang diberi sambel sangat pedas. Tiba-tiba, dari dhalem beliau memanggi santri tersebut, “Fid, Fid... dennak, (Fid, kesini!)”. Hafid pun bergegas menghampiri kyai, seraya mendengar dawuh dari beliau, “engkoq tak taoh, apa tamoy jereya lebih tenggih derejeddeh deri engkoq, jeriyah kasokana Allah. Mara hormateh tamoy jeriyah sanajen abek tak nyaman” (saya tidak tahu apakah tamu tersebut lebih tinggi derajatnya daripada saya, itu sudah kehendak Allah. Mari hormati tamu itu walapun tidak nyaman).
Manusia itu banyak dan berbeda-beda. Tetapi dibalik perbedaan tersebut para sufi melihat bahwa manusia berasal dari satu cahaya, Allah. Tubuh boleh berjauhan, tetapi esensinya manusia berasal dari satu pancaran, Allah. Oleh karena itu, para sufi melihat bahwa apa yang nampak bagi mereka adalah tajalliyaat (manifestasi Allah). Dalam QS. Al-Anfaal 17, Allah berfirman:
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Artinya “Dan kamu tidak melempar ketika kamu melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.”
Bagaimana caranya agar memiliki sikap seperti para sufi tersebut? Dalam tradisi sufi ada istilah suluk, riyadhah dll. Tujuan dari ritual-ritual tersebut tidak lain adalah tazkiyatun nafs (penyucian diri). Tazkiyatun nafs juga sering diartikan dengan mengalahkan dan mengelola ego (nafsu).
Kenapa harus mengalahkan ego? Mengalahkan ego artinya melepaskan keterikatan-keterikatan dengan hal-hal yang sifatnya duniawiyah. Jadi, mengalahkan ego adalah pembebasan terhadap jiwa dari kungkungan materi yang bisa jadi menyebabkan manusia terjerumus dalam jebakan-jebakan yang menghalangi manusia dari pancaran cahaya ilahi. Bisa dikatakan bahwa, bangkitnya ego adalah padamnya cahaya Ilahi.
Tazkiyatun nafs tidaklah muda, banyak rintangan pada saat melaksanakan ritual ini. Pasalnya, ritual ini bukan hanya menghindari dari perbuatan yang dilarang syariat, tetapi juga menghindar dari pebuatan yang boleh tetapi berpotensi merusak jiwa. Setelah mampu mengosongkan jiwa dari sifat-sifat tercela tersebut kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat dan perilaku-perilaku tidak terpuji hingga akhirnya apapun yang dilakukan oleh anggota badannya adalah cerminan dari takhalluq bi akhlaqillah (berakhlaq dengan akhlaq Allah).
Allah berfirman dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
Hambaku tidak akan berhenti mendekatiKu dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintainya, maka aku yang akan menjadi telinganya yang digunakannya untuk mendengar, Aku akan menjadi matanya yang digunakannya untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya yang digunakannya untuk memukul, Aku akan menjadi kakinya yang digunakannya untuk berjalan.