Halaqah Fiqh Peradaban sebagai Konstribusi NU untuk Peradaban Global
SYAMSUL A. HASAN489x ditampilkan Kabar Pesantren
Pembahasan dalam halaqah fiqih peradaban yang digagas PBNU bukan sekadar membahas fiqih tentang hukum-hukum yang sudah ada, tetapi juga membahas sesuatu yang terjadi atau yang akan terjadi. Para kiai berusaha mendialogkan tradisi keilmuan pesantren dengan realitas peradaban baru. Para kiai mencoba untuk mencari jalan keluar dari konflik dan kekacauan yang terjadi di dunia. Hal ini, sebagai kontribusi NU untuk peradaban global.
Demikian sambutan KH. Yahya Cholil Staquf, ketua umum PBNU pada acara "kick off" Fiqih Peradaban jilid II di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, tadi siang. Acara tersebut diikuti oleh para kiai, pengurus NU, dan para santri. Juga diikuti secara online oleh para pengurus NU di dalam negeri maupun luar negeri.
Gus Yahya mengatakan, agenda Fiqih Peradaban ini berangkat dari kegelisahan atas munculnya beberapa isu dan konflik nasional bahkan internasional yang tengah melanda umat manusia. Maka Islam harus hadir untuk menyelesaikan berbagai persoalan dunia.
Menurut Gus Yahya, umat Islam harus dewasa dalam menghadapi masalah besar yang sangat mendasar akarnya dan berpotensi mengancam keselamatan seluruh dunia dan berpotensi menciptakan kerusakan besar-besaran sehingga bisa meruntuhkan segala peradaban dunia. Konflik yang terjadi di tempat terpencil pun dampaknya dapat menyebar ke seluruh dunia.
Ketua umum PBNU tersebut mengajak kepada para ulama, khususnya ulama NU untuk tidak menutup mata atas segala konflik yang ada dan tengah melanda dunia. Maka PBNU mengadakan serial halaqah fiqh peradaban untuk memastikan agar ulama-ulama kita ini tahu, kemudian ikut memikirkan serta mencari solusi atas banyaknya problem problem yang terjadi saat ini sehingga Islam harus hadir dalam menyelesaikan persoalan di dunia ini.
Kiai Azaim, pada kata sambutannya, menyetir dawuh Kiai As’ad bahwa kelak NU akan menjadi “damar kambang” atau lampu untuk pengantin pada malam pertama, yang akan menyinari dunia ini.
Menurut Kiai Azaim, saat ini kita hidup di suatu era yang sangat berbeda jauh dengan era Islam awal, dimana banyak kasus-kasus hukum muncul dengan jawaban hukumnya berupa fatwa. Kita hidup dalam kubangan serba teknologi, media sosial (medsos) dan era masyarakat industry 5.0. Dari satu aspek, kehidupan kita ini tidak lepas dari norma hukum agama.
Berangkat dari sinilah, kita harus membuka cakrawala bagaimana Islam sebagai petunjuk (hudan) yang mengarahkan kepada sikap moderat, tidak ekstrem, dan tidak menyimpang (dari Islam sebagai agama yang mengandung misi rahmatan lil ‘alamin.
Dalam memahami suatu hukum Islam, terlebih dalam menerapkan suatu hukum untuk publik, jangan terperangkap dalam ”sangkar” atau ”kotak” bunyi nash Al-Qur’an, hadits dan teks para ulama fiqh begitu saja. “Karena hal ini dapat berimplikasi pada stagnan, padahal Islam sendiri bukanlah agama yang kaku, melainkan agama yang luwes, dinamis dan universal,” ujar Kiai Azaim.